Kamis, 19 Februari 2009

PAHLAWAN DAN PERSOALAN BANGSA



PAHLAWAN DAN PERSOALAN BANGSA
Oleh
Frofidierman Sonik Purba
Merdeka atau mati …!!!
Ungkapan kata fenomenal yang diucapkan oleh bung Tomo ketika Belanda menyerang Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Karisma ungkapan itu pun memberikan spirit dan semangat kepada para pejuang kita untuk bertempur mempertahankan harkat dan martabat bangsa walaupun nyawa dan darah sebagai taruhannya. Kalaulah kita memiliki remoute kehidupan untuk memutar balik peristiwa 10 November 1945 ini, tentunya kita dapat melihat suatu pemandangan heroik yang menggambarkan daya juang para pahlawan kita yang tidak takut mati demi sebuah kemerdekaaan. Kemerdekaan adalah harga mati yang harus dicapai sebagai tujuan dan cita-cita bersama sebagai bangsa yang berdaulat.
Uangkapan merdeka atau mati yang diteriakkan oleh bung Tomo bukanlah jargon perjuangan tanpa makna. Kita bisa melihat bagaimana pengorbanan dan kegigihan para pahlawan kita yang harus meninggalkan harta, keluarga, bahkan cinta demi suatu impian yakni sang saka merah putih berkibar di bumi pertiwi. Ditengah-tengah kehebatan dan kecanggihan peralatan tempur Belanda, para pahlawan tidak gentar melakukan perlawanan. Darah digantikan dengan kemerdekaan.
Merdeka di Era Kekinian
Ditengah-tengah euforia bangsa yang sedang memperingati hari pahlawan ini, adakah kita memiliki jiwa dan semangat kepahlawanan dalam hidup berbangsa dan bernegara ?. Sebuah pertanyaan klise maupun monoton yang sering diperhadapkan pada kita ketika sedang memperingati momen kepahlawanan. Mungkin ada yang sudah alergi dan menganggap cerita kepahlawanan adalah dongeng yang sudah usang. Kalau kita berpikir secara pragmatis, kita akan mengatakan jadi pahlawan kok repot ( meminjam istilah Gus Dur ketika berada dalam keadaan genting). Jadi pahlawan kok harus diidentiikan dengan pengorbanan untuk kehidupan orang lain. Apakah sosok pahlawan hidupnya sudah digariskan ? Memang itulah pahlawan. Sosok yang tidak akan bisa terlepas dengan perjuangan dan pengorbanan. Yang jelas spirit dan jiwa kepahlawanan ada disetiap orang bagi yang mau berbuat untuk kebaikan tanpa mengharapkan politik balas budi.
Kalaulah kita menghayati ungkapan merdeka atau mati, maka kita bisa melihat relevansinya yang sangat signifikan terhadap persoalan bangsa diera kekinian. Secara de jure bangsa ini telah merdeka dengan melahirkan Republik Indonesia, tetapi secara de facto bangsa ini belum merdeka dari keterburukan dan keterbelakangan. Kita bisa melihat hamparan kemiskinan dan pengangguran yang belum terselesaikan, Hukum yang diperjualbelikan, elit bangsa yang haus kekuasaaan dan korupsi tanah air yang menunjukkan “prestasi” yang diakui dunia internasional serta masih banyak persoalan bangsa yang tidak dituliskan dalam kertas ini.
Kita tidak mengetahui mengapa bangsa ini belum sadar dari keterburukan dan keterbelakangannya dan bangun untuk sebuah tujuan bersama yakni Indonesia yang merdeka adil dan makmur. Apakah ini sebuah kutukan atau kebodohan kita. Mungkin bisa kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Pahlawan masa lalu sering dikaitkan dengan sosok yang heroik dimedan tempur dalam melawan hegemoni penjajah. Darah dan bambu runcing dijadikan simbol perjuangan para pahlawan yang menggambarkan kegagahan dan keberaniannnya. Diera kekinian model kepahlawan tidak lagi dikaitkan dengan darah dan bambu runcing. Pertempuran sekarang adalah bukan lagi melawan penjajah tetapi “pertempuran” sekarang melawan keterburukan dan keterbelakangan. Ditengah-tengah transisi kehidupan berbangsa yang ingin mencapai aktualisasi diri dari berbagai aspek ( politik, ekonomi, sosial maupun budaya ), bangsa ini sangat memerlukan sosok-sosok yang memiliki sikap kepahlawanan dalam menuntaskan persolan-persoalam bangsa. Berbicara kepahlawanan tidak hanya dibebankan kepada para pemimpin bangsa tetapi roh kepahlawanan harus merasuki setiap insan bangsa. Pengusaha, akademisi, mahasiswa, petani, kaum buruh dan segenap elemen negeri ini harus memiliki sikap kepahlawanan di bidangnya masing-masing.. Didalam memerdekaan bangsa ini dari persoalan bangsa, hendaknyalah kita saling bahu membahu dengan tidak saling menyalahkan, tidak menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi maupun mengembangkan ego-ego primordial yang sempit. Pemerintah dengan kebijaknnya harus tetap mementingkan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Lembaga legislative harus menjungjung tinggi fitrahnya sebagai wakil rakyat yang murni memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan sebagai “serigala hitam” yang merampas hak-hak rakyat. Penegakan supremasi hukum haruslah menjadi harga mati yang tidak bias ditawar-tawar bagi lembaga hukum kita ( peradilan, kejaksaaan, kepolisian ).
Seandainya semua lembaga Negara tersebut mereposisi tugas dan kewenangannya masing-masing untuk kepentingan rakyat, momentum untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan dan kemakmuran sebagai pengejawantahan cita-cita luhur para pahlawan dapat kita laksanakan. Seandainya tidak, bagaimana ??. Jawab dalam hati masing-masing.
Penulis adalah Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Komisariat FMIPA USU Periode 2008 - 2009 dan Mantan divisi Informasi dan Komunikasi IMAS-USU periode 2004-2005.( Mahasiswa Kimia FMIPA USU Stambuk 2003)
e-mail : frofidiermanpurba@yahoo.com

Tidak ada komentar: