Jumat, 29 Mei 2009

Harapan Hidup Sejahtera Ditengah-tengah Transisi Pembangunan Pematang Raya Sebagai Ibu Kota Simalungun


Harapan Hidup Sejahtera Ditengah-tengah Transisi Pembangunan Pematang Raya Sebagai Ibu Kota Simalungun
Oleh :
Frofidierman Sonik Purba S.Si

Sejak ibukota Simalungun resmi dipindahkan ke Kecamatan Raya pada tanggal 23 Juni 2008 yang lalu dimana sebelummnya Ibu kota Simalungun telah berada dalam territorial kota madya Pematang Siantar, maka mobilitas social, politik dan ekonomi masyarakat semakin mengalami perkembangan yang signifikan. Ini disebabkan karena Pematang Raya akan menuju daerah perkotaan. Disamping semakin “giatnya” pemerintah melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur pemerintahan, pusat perdagangan dan beberapa fasilitas publik walaupun memang belum memuaskan khususnya menyangkut masalah infrastruktur jalan yang jauh panggang dari apinya, kita juga bisa melihat aktivitas masyarakat semakin sibuk. Menurut penulis ada dua jenis masyarakat yang akan “bertarung” dalam menyambut perpindahan ibukota ini yakni masyarakat internal dan masyarakat eksternal. Masyarakat internal adalah masyarakat yang berdomisili disekitar ibukota. Sedangkan masyarakat eksternal adalah masyarakat yang berasal dari luar wilayah teritorial ibukota. Dua jenis masyarakat ini akan “menghiasi” transisi sosial, politik dan ekonomi Kabupaten Simalungun. Akibat percampuran masyarakat internal dan masyarakat eksternal ini akan menciptakan sebuah akulturasi social, politik dan ekonomi yang linier dengan akulturasi budaya jika masyarakat eksternal membawa budaya yang berbeda dengan budaya Simalungun pada umumnya dan budaya masyarakat Raya pada khususnya. Permasalahannya ada dua akulturasi positif - jika budaya Simalungun dapat dipertahankan dari budaya luar - atau akulturasi negative – jika budaya Simalungun terkontaminasi dengan budaya Luar Kita bisa melihat Pematang Siantar yang sebelum dimekarkan menjadi kota madya adalah masih didominasi oleh budaya dan masyarakat asli Simalungun tetapi akibat akulturasi negative Pematang Siantar kini didominasi budaya dan masyarakat yang bukan asli Simalungun seperti masyarakat Batak Toba dan Masyarakat China. Kita berharap kasus akulturasi negatif seperti di Pematang Siantar tidak terjadi lagi di Pematang Raya. Jangan sampai Pematang Raya menjadi “ Siantar-2 “ yang digilas sebuah evolusi system.
Memang, kita tidak memungkiri bahwa pembangunan Pematang raya sebagai ibukota Simalungun mengalami kemunduran akibat proses tarik ulur yang cukup a lot antara elit politik Simalungun. Regulasi pemindahan telah dikeluarkn ketika era Presiden Habibie yakni PP No.70 Tahun 1999 tetapi hingga sekarang proses pembangunannya masih jalan ditempat. Ini disebabkan karena belum adanya political will eksekutif maupun legislative dalam membangun Pematang raya sebagai ibukota. Sejak era Bupati Jhon Hugo silalahi yang mengkonsepkan pembangunan ibukota dalam proyek mega multi year dengan menelan biaya pemindahan dan pembangunan awal hampir sebesar 100 M tertapi hingga sekarang hasilnya belum mencapai taraf yang memuaskan. Belum lagi, sejak duet Zulkarnean Damanik dan Pardamean Siregar penerusnya duduk di singgasana kursi orang No.1 dan No.2 di Simalungun lagi-lagi pembangunan Pematang raya belum menunjukkan titik terang sebagai sebuah ibukota. Ironis memang kalau kita bandingkan dengan pembangunan kabupaten tetangga seperti Serdang Bedagai. Sejak Serdang Bedagai dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang, eksekutif dan legislatifnya begitu rajinnya membenahi daerahnya dengan pembangunan-pembangunan. Mereka telah membuktikan bahwa ditengah usia daerah yang masih muda, mereka telah mendapatkan
berbagai prestasi di bidang pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Kita bias melihat hanya dalam kurun waktu lima tahun, Kabupaten Serdang Bedagai telah mampu menata pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan fasilitas-fasilitas public sedangkan sudah hampir 10 tahun sejak PP 70/1999 sebagai landasan hukum pemindahan dikeluarkan pemerintah pusat, tetapi realisasi pembangunan masih gitu-gitu aja.
Master plan dan Transparansi Publik
Sudah seharusnya pemerintah sebagai eksekutor pembangunan harus memiliki master plan yang jelas dalam membangun Simalungun dengan Pematang Raya sebagai pusat pemerintahannya. Membangun Simalungun memerlukan manajerial pembangunan yang benar-benar baik, sistematis dan tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat serta lingkungan hidup. Jangan sampai karena “kerajinan” pemerintah yang over dalam membangun tidak memperhatikan hajat hidup masyarakatnya khususnya lingkungan hidup. Tetaplah menjungjung tinggi rasa kekeluargaan dan keadilan dalam membangun Simalungun ini ketika pemerintah ingin menggunakan lahan masyarakat. Jangan mengandalkan aparatnya untuk menggusur hak rakyat. Begitu juga dengan masyarakat yang “kena” imbas pembanngunan harus legowo ketika pemerintah ingin menggantirugikan lahan demi pembangunan fasilitas public. Masyarakat jangan hanya “memaksa” pemerintah untuk merealisasikan pembangunan, tetapi tidak ikhlas memberikan lahannya untuk pembangunan. Disinilah kerjasama pihak pemerintah dan masyarakat disinkronisasikan agar tidak terjadi “konflik pembangunan” di kabupaten yang kita cintai ini karena memang pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh Negara dan digunakan seperlunya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Transparansi pemerintah terhadap publik menjadi parameter utama alam memajukan pembangunan di Simalungun ini. Jangan mengambil kesempatan untuk korupsi ketika pembangunan berjalan.
Menuju Rakyat Mandiri dan Sejahtera
Kabar gembira dengan dipindahkannya Ibu kota Simalungun ke Pematang Raya, harus disambut masyarakat Simalungun dengan mengembangkan semangat kemadirian yakni dengan kegiatan berwirausaha. Masyarakat khususnya yang bermukim di wilayah Kecamatan Raya (masyarakat internal) harus jeli melihat peluang ekonomi dalam melakukan investasi agar lahan yang menjanjikan ini tidak “dijambret” oleh masyarakat eksternal tetapi harus mampu survive dan bersaing secara sehat. Jangan menunggu “bola” dari Pemerintah tetapi harus “turun gunung” dalam menyambut pembangunan ini sehingga harapan menuju masyarakat sejahtera dapat kita rasakan tentunya dengan kerja keras dan kebersamaan.

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Masyarakat Simalungun yang bermukim di Medan. Dipresentasikan Pada Diskusi Ilmiah Dengan Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara (IMAS-USU) Pada tanggal 29 Mei 2009 di Sekretariat IMAS-USU Jln.Seruling No 30 B Pasar 1 P. Bulan Medan 20156

Senin, 18 Mei 2009

Bahasa Simalungun Menuju Kepunahan Budaya, Akankah ?


Bahasa Simalungun Menuju Kepunahan Budaya, Akankah ?
Oleh :
Frofidierman Sonik Purba

Tulisan ini dibuat karena terinpirasi percakapan saya dengan teman lama yang bertemu di salah satu Plaza di kota Medan.. Kami adalah pemuda simalungun bermarga yang sama dan berteman sewaktu duduk di bangku SMU. Sewaktu tamat dari bangku SMU, kami berpisah. Saya melanjutkan pendidikan di salah satu PTN di kota Medan dan sejak perpisahan itu, saya tidak tahu lagi kemana rimbanya. Sekedar mengingat masa lalu, persahabatan kami sangat akrab sekali, senang bersama-sama dan susah pun sama-sama menanggung. Keseharian kami selalu menggunakan bahasa Simalungun yang fasih dan sangat senang dengan lagu-lagu Simalungun. Priskha dan Cewek Matre - dinyanyikan artis simalungun Jhon Eliaman Saragih - adalah judul lagu Simalungun yang kami senangi. Kalau lagi bersama, dua lagu tersebut tidak lupa kami nyanyikan tentunya dengan iringan gitar.
Ditengah-tengah kekagetan saya yang bercampur dengan kegembiraan, dua sahabat karib bertemu kembali. Dengan penampilan yang begitu maskulin dan ditemani oleh seorang gadis cantik, saya menyapanya dengan bahasa Simalungun. Tapi anehnya ketika saya berbicara dengan menggunakan bahasa Simalungun, dia malah menyahutnya dengan bahasa Indonesia yang EYD nya keJakartaan banget dan terkesan janggal dan dibuat-buat. Persisnya sepenggal percakapan kami itu adalah
Saya : Oii…iii Ambea !!. Maraha ho ijon ?. Naha Kabarmu ?
Teman saya : Eh..Kamu Bro. Lama kagak Jumpa ama loe. Gue sehat-sehat aja. Gue
Lagi shoping-shoping ama si doi ( sambil memperkenalkan saya Dengan gadis cantik yang bersamanya )
Saya : Ija ho sonari ?. Kuliah do ho i jon ?.
Teman saya : Ya enggaklah. Gue kuliahnya di Jakarta. Gue lagi liburan di Medan
Ama nyokap dan bokap gitcuu sambil melepas rindu ama cintaku ini
( Sambil menggandeng tangan gadis cantik itu )
Dan masih banyak lagi percakapan-percakapan kami yang tidak dapat saya tuliskan di kertas ini, karena saya lagi menulis artikel bukannya novel.
Dari percakapan kami diatas, saya begitu heran dan risih mendengarkan bahasanya. Mengapa teman saya itu tidak membalas percakapan saya dengan bahasa Simalungun ?. Apakah kebudayaan dan kemajuan zaman di Jakarta telah membuat dia lupa dengan bahasa Simalungun. Bahasa yang selalu kami gunakan dalam kehidupan keseharian sewaktu duduk di bangku SMU.
Kalaulah kita melihat kondisi kekinian, bahasa Simalungun sudah mulai dimarjinalkan oleh masyarakat Simalungun itu sendiri. Di tingkatan pemuda-pemudi Simalungun yang hijrah dari kampung halaman untuk mencari masa depan ke “kampung orang” baik berlabelkan mahasiswa maupun sebagai anak perantauan tidak lagi membudayakan bahasa Simalungun. Ada asumsi mengatakan kalau pemuda-pemudi Simalungun malu dan risih menggunakan bahasa Simalungun di kalangan khalayak ramai. Parahnya, bahasa Simalungun juga jarang bahkan tidak digunakan lagi sebagai bahasa keseharian di kalangan pemuda-pemudi Simalungun itu sendiri. Di tingkatan masyarakat Simalungun yakni orang tua, kurang mewariskan semangat berbahasa Simalungun kepada generasi penerusnya. Permasalahan ini bisa kita lihat pada masyarakat Simalungun yang tinggal di perkotaan.
Survei membuktikan sebagian besar orang tua Simalungun yang tinggal diperkotaan seperti Pematang Siantar tidak menggunakan bahasa Simalungun dalam keluarga sebagai alat komunikasi dengan anak-anaknya. Bisa dibayangkan, masyarakat Simalungun yang tinggal di kota Pematang Siantar yang notabene secara geografis dan kultur dekat dengan kabupaten Simalungun aja tidak membudayakan bahasa Simalungun dalam kehidupan keluarganya apalagi masyarakat Simalungun yang tinggal jauh dari kabupaten Simalungun seperti Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya. Harapan kita “penyakit bahasa” ini tidak menular ke dalam kabupaten Simalungun itu sendiri yang akhir-akhir ini mulai menunjukan indikasi terjangkit di beberapa kecamatan di kabupaten Simalungun
Seharusnya kita berkaca dari suku tetangga seperti Suku Karo dan Suku Batak Toba yang terus melestarikan budaya mereka dengan menggunakan bahasa daerahnya. Mereka tidak segan maupun malu menggunakan bahasa daerahnya. Kita lihat ketika dua orang aja masyarakat suku Karo maupun suku Batak berjumpa baik itu di jalan, terminal, kampus, warung maupun di tempat-tempat umum lainnya, mereka selalu memakai bahasa daerahnya untuk berkomunikasi.
Permasalahan budaya ini harus segera di tuntaskan. Kita tentunya tidak menginginkan bahasa Simalungun mengalami tragedi budaya menuju kepunahan bahasa yang ujung-ujungnya dapat menjadi stimulus menuju kepunahan budaya
Penulis tentunya tidak bermaksud mengangkat isu primordial yang sempit dengan menggaransikan bahasa Simalungun menjadi harga mati yang harus digunakan sebagai alat komunikasi satu satunya dalam kehidupan bermasyarakat tetapi lebih kepada persoalan bagaimana insan Simalungun harus melestarikan bahasa daerahnya sebagai bahasa keseharian di kalangan sesama masyarakat Simalungun disamping menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan suku-suku lain.
Beban moral ini adalah tugas kita bersama. Pemerintah dan DPRD harus proaktif melihat permasalahan ini. Sudah seharusnya Perda bahasa dibuat yang mengatur penggunaan bahasa Simalungun dalam lingkup lembaga pemerintahan. Alangkah disayangkan apabila Bupati,Wakil Bupati, Anggota DPRD maupun Pegawai pemerintahan Simalungun tidak mampu berbahasa Simalungun. Disamping itu organisasi-organisasi Simalungun harus membudayakan bahasa ini dalam kehidupan bermasyarakat. Kita tentunya tidak sepakat apabila ada organisasi Simalungun yang katanya berjuang untuk kepentingan rakyat Simalungun tapi tidak dapat berbahasa Simalungun dapat dikatakan organisasi teladan. dalam kehidupan bermasyarakat.
Generasi tua juga harus mewariskan semangat menggunakan bahasa Simalungun kepada generasi muda sejak dini agar generasi muda Simalungun tidak malu mengunakan bahasa Simalungun dimana pun dia berada sehingga kasus seperti teman lama saya tidak terjadi lagi di kalangan pemuda-pemudi Simalungun kita karena bahasa Simalungun adalah subsistem kekayaan budaya nasional.
Ai ma Tongon
Horas……….
Horas……….
Horas……….

Penulis adalah Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Komisariat FMIPA USU periode 2008-2009 dan Aktivis IMAS-USU

PHK Massal dan Krisis Kemanusiaan


PHK Massal dan Krisis Kemanusiaan
Oleh : Frofidierman Sonik Purba
Dampak krisis keuangan global yang dimulai dari Amerika Serikat telah merambah keseluruh dunia. Efek dari krisis ini yang semula hanya dirasakan oleh sekelompok masyarakat yang terikat dengan industi keuangan dan pasar modal kini mulai dirasakan dunia usaha Indonesia khususnya yang bergerak di sektor industri padat karya seperti industri bubur kertas dan kertas, kayu lapis dan produk tekstil.
Ditengah menurunnya permintaan dunia akan produk industri dalam negeri dimana Amerika Serikat dan Eropah merupakan pasar ekspor tujuan terbesar produk Indonesia dan minimnya pasokan bahan baku, maka ancaman PHK massal terhadap 26.000 pekerja dan merumahkan sedikitnya 12.000 pekerja lainnya menjadi alternative utama yang diambil perusahaan demi mengurangi biaya produksinya.
Ancaman pengangguran besar-besaran ini telah membuat dunia usaha berada pada posisi yang dilematis. Satu sisi perusahaan menginginkan untung untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak sampai gulung tikar. Sisi lainnya, para pekerja mengharapkan kebijakan PHK massal yang akan dikeluarkan tidak sampai terjadi karena berhubungan dengan kelangsungan hidup. Kita tidak bisa memungkiri bahwa dengan maraknya pengangguran berpotensi menambah permasalahan sosial baru maupun kerawanan sosial di tengah-tengah masyarakat yang ujung-ujungnya dapat menyebabkan krisis kemanusiaan. Masyarakat akan menghalalkan segala cara agar bisa bertahan hidup. Pemerasan, pencurian, perampokan maupun bentuk kriminalitas lainnya akan banyak terjadi demi mendapatkan sesuap nasi.
Pemerintah harus proaktif mengambil langkah-langkah antisipasi guna menghindari ancaman PHK massal ini. Kebijakan maupun regulasi yang dibuat tidak hanya menguntungkan pengusaha secara sepihak tetapi juga harus memperhatikan nasib para pekerja. Pembangunan infrastruktur secara merata harus dikembangkan karena dapat mendorong terciptanya lapangan kerja. Kualitas produksi barang yang akan diekspor juga harus ditingkatkan dengan memberikan stimulus, insentif, penyuluhan maupun kemudahan birokrasi pada dunia usaha. Disamping itu, pemerintah harus dapat menggerakkan sektor riil agar pertumbuhan ekonomi dalam negeri berjalan dengan baik.
Peraturan bersama empat menteri- tenaga kerja, perindustrian, perdagangan dan dalam negeri- tidak menjadi senjata bagi perusahaan untuk bertindak sewenang-wenang dalam melakukan pemutusan hubungan kerja dengan dalih krisis global tetapi harus melakukan perundingan bipartiat secara transparan antara manajemen perusahaan dengan pengurus serikat pekerjanya agar kesinambungan usaha tidak kolaps dan nasib para pekerja terakomodir
Sudah saatnya permasalahan PHK massal sebagai turunan akibat krisis keuangan global kita sikapi secara bersama-sama. Mari kita jadikan krisis ini sebagai batu ujian secara bijaksana untuk lebih meningkatkan kerja sama dan transparansi agar permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik horizontal yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan ditengah-tengah masyarakat.

Penulis adalah Komisaris GmnI Komisariat FMIPA USU Cabang Kota Medan Periode 2008-2009 dan Aktivis IMAS-USU

MENUNGGU IMPLEMENTASI UU PORNOGRAFI


MENUNGGU IMPLEMENTASI UU PORNOGRAFI
OLEH
FROFIDIERMAN SONIK PURBA

RancanganUndang-Undang Pornografi telah disahkan oleh DPR-RI. Hampir semua fraksi di DPR menyepakati RUU ini disahkan menjadi UU kecuali fraksi PDIP dan fraksi PDS dan dua anggota DPR fraksi Golkar dari Propinsi Bali yang walk out pada saat RUU ini akan disahkan. Sebuah produk undang-undang yang sebelum maupun setelah disahkan telah menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang pro terhadap undang-undang ini tetapi tidak sedikit pula yang menolaknya.
Kalau kita memandang kondisi realita kebangsaan sekarang yang belum terlepas dari belenggu keterpurukan maupun keterbelakangan seperti kemiskinan, Pengangguran, ketidakadilan, maupun kasus korupsi yang memprihatinkan, adakah produk undang-undang ini menjadi kebutuhan primer bangsa yang harus dipenuhi atau hanya akan menciptakan gejolak masyarakat yang berlarut-larut?. Kalau kita berbicara tentang moralitas maka indikator keberhasilannya adalah perilaku maupun perbuatan nyata yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita tentunya tidak sepakat seandainya seseorang yang secara kedudukan maupun pendidikan diakui dan dihormati masyarakat tetapi melakukan perbuatan asusila dapat dikatakan manusia bermoral. Akan tetapi seseorang yang demikian tentunya akan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat bahkan mungkin akan mendapat sanksi secara hukum yang berlaku. Kita lihat bagaimana kasus Yahya Zaini mantan anggota DPR RI melakukan perilaku asusila dengan beredarnya video seksnya dimasyarakat mendapatkan sanksi dipecat dari jabatannya sebagai wakil rakyat dan jabatannya sebagai salah satu pengurus pusat partai Golkar dan bahkan mungkin akan mendapat sanksi moral dari masyarakat melalui dicemooh, diasingkan maupun bentuk sanksi moral yang lain. Dan contoh-contoh kasus asusila diatas masih banyak terjadi dikalangan para elit bangsa saat ini.
Yang menjadi permasalahannya adalah apakah substansi dari UU Pornografi tersebut dapat meningkatkan moralitas bangsa atau hanya akan dijadikan tameng atau alat oleh kelompok tertentu kita untuk suatu kepentingan maupun motif tertentu ?.
Didalam melihat keberhasilan UU ini ada 2 hal yang perlu kita perhatikan :
Pertama : Sisi kriminalitas atau kejahatan publiknya. Jikalau ada individu maupun suatu kelompok masyarakat yang melakukan suatu perbuatan yang menyimpang khususnya yang melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat tentunya UU Pornografi ini menjadi senjata ampuh untuk menghukum pelaku pornografi tersebut karena memang perbuatan tersebut dapat merusak mental maupun menghancurkan moralitas bangsa ini yang dikenal dengan masyarakatnya yang berbudaya dan religius ini Kedua : Intervensi Kehidupan Bermasyarakat. Jikalau pelaksanaan teknis UU pornografi ini mengalami benturan ditengah-tengah masyarakat tentunya dapat menimbulkan konflik horizontal yang akhir-akhirnya dapat menciptakan masalah sosial yang baru. Seperti yang kita lihat pada masyarakat Bali yang melakukan sikap reaksioner dengan melakukan protes keras melalui Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan ketua DPRD Bali Ida Bagus Putu Wesnawa (Analisa,31/10) atas disahkannya RUU ini menjadi UU karena memang UU Pornografi ini tidak sesuai dengan nilai sosiologis maupun nilai filosofis masyarakat Bali. Masyarakat Bali juga mengatakan akan melakukan pembangkangan sipil apabila pemerintah pusat memaksakan UU ini diterapkan di Propinsi Bali. Yang kita inginkan dari permasalahan ini adalah tidak terjadinya gerakan separatis untuk memisahkan diri dari NKRI yang kita cintai ini dan munculnya milisi-milisi sipil yang mengkangkangi konstitusi dan hak warga negara dengan berkedokkan penegakan moralitas bangsa. Apabila UU Pornografi ini menjadi bumerang bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini tentunya tidak bisa kita pungkiri akan menambah perbendaharaan masalah bangsa yang baru disamping kemiskinan, penganguran, kasus korupsi dan ketidakadilan yang belum terselesaikan.
Diera kekinian ini, permasalahan moralitas yang menyangkut pornografi tidak dapat kita atasi hanya dengan membuat sebuah UU saja tetapi lebih kepada melakukan penyadaran-penyadaran sosial ditengah-tengah masyarakat ini. Salah satu faktor yang sangat berperan aktif adalah dari faktor keluarga. Sudah sepantasnya keluarga mengajarkan maupun mendidik anak-anak sejak dini sebagai generasi penerus bangsa untuk menjadi anak yang bermoral dan berakhlak dengan membuka cakrawala berpikir terhadap bahaya informasi negative yang dapat memancing seseorang melakukan perbuatan asusila. Internet, Siaran TV ,buku, majalah yang berbau porno maupun komunikasi elektronik dan barang cetakan lainnya adalah media informasi yang dapat memberikan layanan pornografi. Efek negatif dari pengaruh media informasi tersebut adalah dapat membuat efek psikologis untuk melakukan perbuatan asusila seperti pencabulan, pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya. Disamping itu Lembaga pendidikan, Lembaga Sosial maupun Lembaga keagamaan sudah sepantasnya berperan aktif dalam melakukan pendidikan moral guna mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang bermoral dan berakhlak tinggi. Kita tidak ingin bangsa yang menganut beraneka ragam agama dan kepercayaan yang mengajarkan moralitas ini terdapat banyak kasus-kasus asusila yang sangat memprihatinkan
Dalam mewujudkan UU Pornografi ini tentunya diperlukan kerja sama dari semua pihak. Memang tidak bisa kita pungkiri dalam pembuatan UU ini ada terjadi proses politik didalamnya, tetapi hendaknyalah UU ini tidak mengandung motif politik tertentu khususnya menjelang Pemilu 2009 ini dan tidak menjadi strategi kotor bagi para wakil rakyat kita yang duduk di Senayan untuk mengalihkan isu untuk menutupi kinerja DPR yang belum pro rakyat dan terkesan DPR seolah-olah memperjuangkan moralitas bangsa yang akhir-akhir ini marak terjadi perbuatan asusila khususnya dikalangan wakil rakyat kita. Oleh karena itu Lembaga eksekutif dan Lembaga legislatif harus mensosialisasikan UU ini sampai keakar-akarnya kepada masyarakat agar tidak menimbulkan polemik maupun gejolak yang ujung-ujungnya dapat menciptakan disintegrasi bangsa yang dikenal bangsa yang memiliki pluralisasi suku, budaya, adat-istiadat maupun agama dan kepercayaan ini. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar di era demokrasi ini. Jikalau ada yang keberatan terhadap UU ini, hendaknyalah ditempuh melalui jalur konstitusi-Judical Review-yang berlaku ditanah air. Satu hal yang pasti ketika sebuah undang-undang dibuat tentunya tujuan utamanya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Kita tidak ingin UU Pornografi ini dibuat justru membuat rakyat semakin menderita. Oleh karena itu mari kita lihat apakah UU Pornografi ini dapat meningkatkan moralitas bangsa yang ujung-ujungnya untuk kesejahteraan rakyat atau justru sebaliknya.Semoga !!

Penulis adalah Komisaris GmnI Komisariat FMIPA USU Cabang Kota Medan Periode 2008-2009.
Aktivis IMAS -USU

Kamis, 07 Mei 2009

Pemilu 2009 : Harapan Baru atau Bencana Politik ?


Pemilu 2009 : Harapan Baru atau Bencana Politik ?
Pemateri
Frofidierman Sonik Purba S.Si

Tahun 2009 adalah momentum yang penting bagi bangsa ini. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2009 ini bangsa ini akan merayakan hajatan politik yakni pemilihan umum (pemilu) yang akan memberikan warna baru bagi perjalanan bangsa untuk untuk 5 tahun kedepan. Pemilihan umum yang dibagi dalam dua kategori yakni pemilhan legislative (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) adalah amanah konstitusi yang harus segera diselenggarkan. Sebanyak 174.410.453 jiwa yang meliputi 77 dapil untuk DPR Pusat, DPRD Provinsi 217 dan DPRD Kabupaten/kota sebanyak 1.847 dimana jumlah partai politik (pemilu 2009) peserta pemilu 2009 yang berjumlah 38 parpol Nasional serta enam partai lokal Aceh untuk Nanggroe Aceh Darussalam akan “turun gunung” dalam memberikan hak konstitusinya dalam pemilihan legislative dan khusus untuk sumatera utara terdapat 9.180.973 orang yang tersebar di 28 kabupaten/kota untuk memilih DPRD Provinsi yang meliputi 11 dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 100 kursi (Kompas,2008). Apapun hasil pada pemilihan legislative pada tanggal 9 April 2009 ini akan memberikan andil yang sangat penting dalam melanjutkan agenda demokrasi bagian kedua yakni pemilihan presiden yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 Juli 2009 karena sesuai dengan UU Pemilu No 10 Tahun 2008 dan diperkuat dengan putusan mahkamah konstitusi bahwa syarat suatu partai maupun koalisi partai dalam pengajuan calon presiden maupun wakil presiden harus memenuhi 25 % kursi DPR Pusat dan 20 % suara sah nasional.
Konsep pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politika yang digagas Montesqieue dimana kekuasaan dalam suatu pemerintahan/Negara dibagi atas 3 bahagian yakni eksekutif, legislative dan judikatif masih dianut bangsa ini sampai saat ini. Pemilihan eksekutif dan legislative diserahkan kepada kedaulatan rakyat yang tertuang dalam UUD 1045 yang dalam proses politiknya mengalami metamorfosis perkembangan yang cukup signifikan yakni dari metode perwakilan sampai pemilihan langsung. Metode pemilihan langsung yang kita anut pada pemilu 2004 dan 2009 ini telah menunjukkan bahwa suara rakyatlah yang menentukan siapa yang akan terpilih sehingga santer kita dengar suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam model pemilihan langsung ini jelaslah bahwa siapa yang dekat ke rakyat dan mampu menarik simpati rakyat maka dialah pemenang dari “permainan politik” ini.
Rakyat, Bijaksanalah !!
Kita tentunya tidak mengharapkan para kandidat yang selama kampanye menjelma sebagai “pendekar rakyat” dengan mengumbar janji-janji manis untuk memperjuangkan penderitaan rakyat akhirnya setelah terpilih berubah menjadi “pengisap hak dan kehormatan rakyat”. Rangkaian kata-kata yang dijual para kandidat dalam kampanyenya begitu indah didengar ibarat angin sorga yang akan memberikan setitik harapan ditengah-tengah permasalahan bangsa yang semakin memprihatinkan. Ada yang berani menawarkan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, jaminan sosial gratis sehingga setelah terpilih yang ada hanya harga diri dan moralitas gratis artinya keadilan dan hak rakyat susah didapat sehingga harga diri dan moralitas tidak lagi berharga. Belum lagi persoalan money politik yang dihalalkan demi meraih kekuasaan sehingga akan berpotensi menciptakan korupsi ketika terpilih. Kita lihat bagaimana para kandidat menjelma sebagai “dermawan” dadakan dengan membagi-bagikan uangnya kepada para konstituen baik mengatasnamakan organisasi maupun pihak yang diklaim dapat mengusahakan lumbung suara (tim sukses dadakan) kepada si calon dimana dibalik kedermawanannya ada kepentingan politik dibaliknya. Konsekuensinya ketika para kandidat yang terpilih mulai menjabat maka yang akan dipikirkannya adalah dua tahun pertama memulangkan dana kampanye melalui korupsi, tahun ketiga memperkaya diri dan dua tahun jabatan terakhir menyimpan dana kampanye yang akan digunakan untuk membeli suara rakyat pada pemilu berikutnya. Ibaratnya proses demokrasi ini seperti sebuah perusahaan politik yang melakukan investasi politik kerakyat untuk mendapatkan untung pribadi dari permainan politik sehingga kepentingan rakyat hanya sebatas komoditas politik belaka. Disinilah peran rakyat sebagai konstituen pemilu harus arif dan bijaksana sebelum membuat pilihan. Memang dalam membuat tolok ukur dalam menganalisa visi misi maupun janji-janji manis para kandidat mana yang mengandung nilai kebenarannya adalah susah sekali. Hal ini disebabkan karena kebanyakan visi misi/janji-janji mereka hanya dijadikan alat komunikasi politik untuk menarik simpati rakyat saja tetapi dalam implementasinya ketika terpilih tidak menjadi permasalahan hukum apabila tidak dijalankan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar visi misi para kandidat tidak menjadi media pembohongan publik :
Pertama : Mempelajari track record sosok kandidat. Sebagai konstituen dalam pemilu ini sudah sepantasnya rakyat harus mengetahui sosok kandidat yang akan mereka pilih. Rakyat harus mengetahui bagaimana pendidikannya, sepak terjangnya, kesehatan, keadaan psikologi bahkan permasalahan yang lebih intim seperti keluarga. Kita tidak ingin kandidat yang kita pilih mempunyai masalah keluarga. Bagimana mungkin dia akan mensejahterakan rakyat sedangkan keluarganya tidak bisa jadi teladan ditengah-tengah masyarakat atau bagaimana mungkin dia akan membicarakan peningkatan kesehatan rakyat sedangkan dia saja mempunyai masalah kesehatan. Kesemuanya itu menjadi faktor yang mempengaruhi ketika membicarakan implementasi visi misinya.
Kedua : Pembuatan regulasi visi misi. Sudah sepantasnya regulasi terhadap visi misi para kandidat pada pemilu nanti dibuat dalam bentuk undang-undang khusus. Kita tidak menginginkan visi misi setiap calon selama ini hanya dijadikan media pembohongan publik. Jadi, setiap kandidat yang terpilih nanti maka visi misi yang diucapkan disetiap kampanyenya langsung menjadi undang-undang khusus yang apabila tidak dijalankan akan dikenakan sanksi secara hukum. Pembohongan publik yang dia buat melalui visi misinya sama saja dengan penghianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Optimisme VS Pesimisme
Pada pemilu 2009 ini kita tidak bisa memungkiri bahwa masyarakat yang optimisme dan masyarakat yang pesimisme terhadap pemilu 2009 ini akan memberikan dampak yang besar terhadap hasil pemilu 2009 ini. Masyarakat yang optimisme tentunya melihat adanya harapan baru dari pemilu 2009 nanti dengan memberikan partisipasi politiknya sedangkan masyarakat yang pesimisme melihat bahwa tidak ada harapan baru dalam pemilu nanti karena mereka berkaca dari hasil-hasil pemilu sebelumnya yang tidak memberikan harapan menuju kesejahteraan rakyat.
Dalam melihat pesimisme terhadap penyelenggaraan pemilu ada 3 permasalahan yang selalu muncul dalam setiap hajatan politik yang satu ini yakni logistik, DPT dan Golput
Ada 5 alasan terjadinya golput
1. Kesalahan Teknis yakni dalam hal kesalahan pendataan sehingga banyak yang tidak terdaftar dalam DPT
2. Kesalahan tata cara pemilihan. Pada pemilu 2009 ini metode pemilihan dilakukan dengan cara mencontreng sehingga banyak masyarakat akan bingung karena telah terbiasa dengan budaya mencoblos
3. Alasan Politik yakni tidak simpatik terhadap kandidat yang dipilih
4. Alasan Pragmatis-Individualis yakni melihat dari sisi untung ruginya
5. Karena factor ideologis politik yakni tidak percaya pada mekanisme demokrasi akibat adanya fundamentalisme agama dan perbedaan ideologi politik
Suara Terbanyak Proses Pendewasaan Demokrasi Tanah Air
Dengan adanya UU Pemilu yang baru dan diperkuat dengan putusann Mahkamah Konstitusi tentang penerapan suara terbanyak dalam pemilihan legislatif dan batas 2O% kursi partai di DPR dan 25% suara partai secara nasional bagi pencalonan presiden dan wakil presiden oleh suatu partai maupun koalisi partai maka konstlasi politik daerah maupun nasional semakin memanas. Pada model demokrasi diera kekinian, tidak lagi cost politik (ongkos politik) yang menjadi tolak ukur tetapi kedekatan para elit politik yang maju sebagai kandidat dan partai yang mengusungnya terhadap konstituennyalah akan menjadi alternative utama dalam meraih simpati rakyat. Jadi, para kandidat yang bahkan sebelum perhelatan kampanye dilakukan telah melakukan pendekatan ke rakyat melalui aksi-aksi sosial yang riil akan lebih dikenal masyarakat dibandingkan para kandidat yang mengandalkan tebar pesona gambar. Kalau kita melihat pada pemilihan legislatif tahun 2004 lalu, persoalan nomor urut menjadi jualan partai yang sangat menggiurkan karena nomor urut memang berperan penting untuk menentukan siapa yang duduk sebagai calon legislator. Bayangkan saja untuk mendapatkan nomor urut jadi si calon harus mengeluarkan ratusan juta rupiah bahkan miliaran rupiah. Alhasilnya, partai tidak lagi melihat mutu kandidat sehingga tanpa kita pungkiri rakyatlah yang tetap menjadi korban dari permainan politik kotor ini.
Dengan dikeluarkannya regulasi baru tentang pelaksanaan pemilu maka kompetisi atau persaingan yang ketat antar calon maupun partai akan menghiasi peta perpolitikan tanah air. Bisa saja kandidat yang bernomor urut 10 akan mengalahkan kandidat bernomor 1 sehingga para kandidat yang selama ini memiliki nomor urut jadi tidak bisa lagi berpangku tangan dan menunggu mukjizat tetapi harus ekstra kerja keras dalam meraih simpati rakyat
Putra-putri Simalungun Menuju Kursi Legislatif
Hajatan politik yang akan kita rayakan ini pun sangat terasa dalam masyarakat Simalungun. Sebanyak 552.043 orang yang terdaftar sebagai DPT menyebar di 31 kecamatan terbagi 5 Daerah Pemilihan (Dapem) masing-masing Dapem I terdiri dari Kecamatan Siantar, Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolok, Dolok Batu Naggar dan Pamatang Bandar.
Dapem II terdiri dari Kecamatan Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Bosar Maligas dan Ujung Padang. Dapem III terdiri dari Kecamatan Tanah Jawa, Hatonduhan, Hutabayu Raja dan Jawa Maraja Bah Jambi.
Dapem IV terdiri dari Kecamatan Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolok Pardamean, Girsang Sipanganbolon, Dolok Panribuan dan Jorlang Hataran. Dapem V terdiri dari Kecamatan Pane, Panombeian Pane, Raya, Purba, Silimakuta, Pamatang Silimahuta, Dolok Silou, Silou Kahean dan Raya Kahean.
Jumlah suara tersebut akan diperebutkan para Caleg yang terdaftar sebanyak 900 orang untuk mengisi 45 kursi DPRD Simalungun. Berdasarkan pembagian Dapem untuk mengisi kursi DPRD tersebut yaitu Dapem I. 12 orang, Dapem II. 11 orang, Dapem III. 6 orang, Dapem IV. 6 orang dan Dapem V. 10 orang. ( Harian SIB 2008)
Kita lihat bagaimana putra-putri Simalungun berbondong-bondong mencalonkan diri sebagai calon legislator baik dari tingkat daerah sampai tingkat pusat dan sudah sepantasnyalah permasalahan kualitas figure harus kita kedepankan karena sangat berpengaruh dalam membawa bangsa ini keluar dari keterbelakangan dan keterburukan khususnya dalam memajukan masyarakat Simalungun. Kita tentunya tidak menginginkan para kandidat yang maju dari masyarakat Simalungun tidak mengerti permasalahan yang terjadi di Simalungun tetapi harus mempunyai politik will dalam membangun Simalungun. Disinilah diperlukan kebijaksanaan masyarakat Simalungun sebagai konstituen politik melihat track record si calon. Kita jangan memandang kandidat yang akan kita pilih dari segi materialnya saja dan harus membuang jauh-jauh politik sempit yang mengatasnamakan satu marga, satu kampung maupun karena politik sanak saudara tetapi lebih kepada persoalan bagaimana kita melihat si calon benar-benar tulus dalam membangun Simalungun. Alangkah ironisnya apabila kita menjual hati nurani kita kepada orang yang salah. Akibatnya yang menanggung resikonya adalah kita sendiri. Bisa dikatakan siapa yang menjual hati nuraninya sama saja dengan menjual bangsa ini kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Sengketa Pemilu Stimulus Bencana Politik Tanah Air
Dalam melihat kewajaran sosial politik masyarakat yang akan memanas menjelang Pemilu 2009 sebagai konsekuensi logis sebagai penganut paham demokrasi hendaknyalah dalam mengimplementasikan proses demokrasi ini tetap mengedepankan etika dan hukum yang berlaku. Menang dan kalah dalam pertarungan kekuasaan maupun kepemimpinan harus diterima dengan lapang dada dan bersikap ksatria sehingga tindakan anarkis dan konflik horizontal tidak terjadi ditengah-tengah masyarakat yang cinta damai ini. Jikalau ada ditemukan penyimpangan dalam proses politik ini hendaknya diselesaikan melalui jalur konstitusi yang berlaku sehingga bencana politik berupa krisis politik tidak terjadi di bumi pertiwi ini karena dengan terjadinya krisis politik akan mempengaruhi aspek ekonomi, social budaya bahkan integritas bangsa. Kita lihat bagaimana sikap John Mcain – kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik yang kalah dalam pemilihan presiden. Ketika KPU Amerika Serikat mengumumkan kemenangan Barak Obama sebagai presiden Amerika Serikat yang terpilih, John Mcain langsung berpidato dihadapan para pendukungnya seraya mengakui kemenangan Barak Obama dan mengajak seluruh pendukungnya untuk mendukung presiden terpilih. Belum lagi ketika Barak Obama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat yang Ke-44, dengan kerendahan hati dia mengajak kandidat yang kalah untuk bekerja sama dalam membangun Amerika Serikat. Dua ksatria yang dimiliki Amerika Serikat ini telah memberikan teladan kepada dunia bahwa demokrasi yang mereka miliki dapat menjadi demokrasi percontohan. Hendaknyalah para kandidat dapat bercermin dari ketokohan John Mcain dan Barak Obama ini. Membangun Simalungun bukan harus menjadi Anggota Legislatif atau menjadi Bupati. Banyak pekerjaan yang dapat kita lakukan untuk membangun simalungun ini asalkan kepentingan rakyat tetap menjadi corong terdepan.
Penutup
Sebelum membuat pilihan hendaknyalah 3M yakni Melihat track record se calon sampai keakar-akarnya, Memilih pada tanggal yang ditentukan atau tidak golput dan Mendoakan pilihan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus kita lakukan demi kemajuan bangsa ini. Jadi, selamat menggunakan hati nuraninya pada Pemilu 2009 ini. Pilihan kita menentukan kemajuan bangsa. Horas
Penulis adalah kordinator divisi Infokom IMAS-USU periode 2004-2005

Dipresentasikan pada diskusi ilmiah Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara (IMAS-USU) pada tanggal 3 April 2009 di Sekretariat IMAS USU Kota Medan.