Selasa, 24 Februari 2009

Demokrasi Percontohan


Demokrasi Percontohan
Oleh
FROFIDIERMAN SONIK PURBA

Pada tanggal 4 November 2008 yang lalu, bangsa Amerika Serikat telah mencatat sejarah baru dengan terpilihnya Barak Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang Ke-44. Dinamakan Pemilu yang bersejarah adalah karena Barak Obama adalah presiden berkulit hitam yang pertama yang terpilih untuk memimpin Amerika Serikat 4 tahun kedepan. Dengan mengusung isu perubahan tentunya jutaan rakyat Amerika Serikat bahkan dunia internasional menaruh harapan yang besar terhadap sosok yang dikenal dengan pidato politik yang penuh dengan emosional dan berkarisma ini. Ditengah euforia kemenangan , Barak Obama sudah harus dibebani “PR” sebagai warisan kebijakan Bush yakni Krisis ekonomi dan krisis keuangan global yang harus dituntaskan yang telah menyengsarakan rakyat Amerika Serikat disamping kebijakan terhadap ribuan tentara Amerika Serikat di Irak yang saat ini menunggu kepastian. Satu hal yang pasti adalah Amerika Serikat telah menunjukkan kepada dunia bahwa metamorfosis kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi telah mulai mencapai tahap perkembangan yang signifikan.
Politik Tanah Air
Sebagai negara penganut paham demokrasi seperti Amerika Serikat, tentunya secara substansial tidak jauh berbeda dengan keadaan politik nasional menjelang pemilu 2009. Berbagai harapan rakyat Amerika Serikat terhadap hasil pemilu mereka tentunya tidak berbeda dengan harapan rakyat Indonesia pada pemilu 2009 nanti yakni peningkatan taraf hidup dan perbaikan sosial kearah yang lebih baik.
Permasalahan kemiskinaan, pengangguran, pendidikan, korupsi, penegakan supremasi hukum dan kesehatan adalah beberapa masalah bangsa ini yang tentunya akan menjadi “PR” bagi para kandidat pemimpin bangsa yang terpilih melalui pemilu nanti. Didalam pemilu yang dilakukan secara langsung tersebut bisa kita katakan suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat sebagai konstituenlah yang menjadi kunci keberhasilan dari serangkaian perjalanan proses demokratisasi nanti. Rakyat harus jeli dan bijak dalam memilih sosok pemimpin pro rakyat bukannya pemimpin “penghisap”rakyat. Seperti kita lihat bagaimana para kandidat pemimpin bangsa melalui kampanye-kampanyenya menawarkan janji peningkatan kesejahteraan rakyat. Ada yang berani menyatakan pendidikan gratis, biaya kesehatan gratis, peningkatan lapangan kerja yang akan diberikan kepada rakyat apabila dia terpilih nanti. Sungguh suatu “jualan politik” yang menggiurkan yang dikremas dalam bahasa maupun kata-kata yang indah didengar. Memang dalam membuat tolok ukur dalam menganalisa visi misi para kandidat mana yang mengandung nilai kebenarannya adalah susah sekali. Hal ini disebabkan karena kebanyakan visi misi mereka hanya dijadikan alat komunikasi politik untuk menarik simpati rakyat saja tetapi dalam implementasinya ketika terpilih tidak menjadi permasalahan hukum apabila tidak dijalankan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar visi misi para kandidat tidak menjadi media pembohongan publik :
Pertama : Mempelajari track record sosok kandidat. Sebagai konstituen dalam demokrasi dan proses demokratisasi ini sudah sepantasnya rakyat harus mengetahui sosok kandidat yang akan mereka pilih. Rakyat harus mengetahui bagaimana pendidikannya, sepak terjangnya, kesehatan, keadaan psikologi bahkan permasalahan yang lebih intim seperti keluarga. Kita tidak ingin kandidat yang kita pilih mempunyai masalah keluarga. Bagimana mungkin dia akan mensejahterakan rakyat rakyat sedangkan keluarganya tidak bisa jadi teladan ditengah-tengah masyarakat atau bagaimana mungkin dia akan membicarakan peningkatan kesehatan rakyat sedangkan dia saja mempunyai masalah kesehatan. Kesemuanya itu menjadi faktor yang mempengaruhi ketika membicarakan implementasi visi misinya.
Kedua : Pembuatan regulasi visi misi. Sudah sepantasnya regulasi terhadap visi misi para kandidat pada pemilu nanti dibuat dalam bentuk undang-undang khusus. Kita tidak menginginkan visi misi setiap calon selama ini hanya dijadikan media pembohongan publik. Jadi, setiap kandidat yang terpilih nanti maka visi misi yang diucapkan disetiap kampanyenya langsung menjadi undang-undang khusus yang apabila tidak dijalankan akan dikenakan sanksi secara hukum. Pembohongan publik yang dia buat melalui visi misinya sama saja dengan penghianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Dalam mengukur keberhasilan suatu pesta demokrasi dalam hal ini adalah pemilu, maka ada dua hal yang dapat menjadi tolak ukurnya yakni :
Pertama : Kedewasaan Berpolitik Masyarakat
Dialam demokrasi ini persoalan menang dan kalah dalam pertarurang perebutan kepemimpinan maupun kekuasaan adalah hal yang wajar apabila para kandidat dan masyarakat pendukung dewasa dan legowo menerima apapun hasil yang dicapai. Kita tentunya tidak menginginkan terjadinya konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat yang ujung-ujungnya akan merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Kita lihat bagaimana kedewasaan berpolitik John Mcain, kandidat Presiden Amerika Serikat dari partai Republik yang kalah pada Pemilu Amerika serikat 4 November 2008 yang lalu. Ketika dia telah mengetahui kekalahannya pasca pengumuman hasil pemilu Amerika Serikat, dia langsung berpidato dihadapan pendukungnya sendiri untuk mengakui kehebatan dan kemenangan Barack Obama, kandidat Presiden Amerika Serikat terpilih dari partai Demokrat. Ditengah-tengah teriakan kekecewaan yang diluapkan pendukungnya dia tidak hanya mengakui kekalahannya tetapi mengajak seluruh konstituen pendukungnya untuk bersatu dan mendukung presiden Amerika Serikat yang terpilih. Sungguh suatu sikap ksatria sejati. Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sikap dan keteladanan Jhon Mcain ini ada di setiap jiwa para kandidat pemimpin bangsa yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti?. Sungguh suatu sikap kekanakkanakan apabila ada kandidat yang kalah tetapi tidak mengakui kekalahannya. Ironisnya malah melakukan penghasutan maupun provokasi kepada konstituennya untuk melakukan tindakan anarkis. Dalam berdemokrasi ini tentunya kita tidak bisa menegasikan adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Oleh karena itu sebagai masyarakat yang terkenal dengan kekeluargaannnya dan kegotongroyongannya, hendaknyalah penyimpangan atau sengketa yang terjadi disikapi melalui jalur konstitusi/hukum yang berlaku di tanah air kita
Kedua : Permainan isu-isu strategis.
Dalam pertarungan demokrasi ini, isu-isu strategis sangat berperan sekali dalam memetakan kekuatan politik. Memerankan isu-isu stategis tentunya harus menjungjung tinggi etika dan norma berdemokrasi. Kita tentunya tidak menginginkan isu agama , kesukuan maupun ras dijadikan komoditas politik untuk kepentingan sesaat, tetapi hendaknyalah kita nilai dari visi misinya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Amerika Serikat telah mencatat sejarah baru dengan terpilihnya Barak obama sebagai Presiden berkulit hitam pertama untuk memimpin Amerika Serikat 4 tahun kedepan. Rakyat Amerika Serikat tidak melihat sosok Barak Obama dari sudut latar belakangnya (baca: Ras, Suku maupun agama) tetapi dilhat dari visi misi yang dia tawarkan yang sangat menyentuh kebutuhan dan menjawab permasalahan rakyat Amerika Serikat. Believe We Can Change it adalah jargon-jargon Barak Obama yang selalu dia dengungkan disetiap kampanyenya. Sejarah terpilihnya Barak Obama sebagai USA-1 telah menghancurkan tembok diskriminasi ras dalam sosial - politik Amerika Serikat.
Oleh karena momentum ini dapat kita jadikan inspirasi baru dalam mewarnai metamorfosis kedewasaan berpolitik bangsa ini. Jadi, Dalam pertarungan demokrasi 2009 nanti, dikotomi politik jawa dan luar jawa, suku maupun agama tertentu untuk memimpin bangsa ini sudah sepantasnya kita hilangkan dengan mengkampanyekan politik kualitas sosok kandidat dalam memimpin bangsa ini keluar dari keterbelakangan dan keterburukan tanpa melihat latar belakang suku, ras maupun agamanya.
Penutup
Ditengah-tengah kecaman dunia akan kebijakan luar negerinya diera kepemimpinan Bush yang sarat perang bahkan ada yang sudah anti Amerika Serikat, negera Paman Sam tersebut telah berhasil menunjukkan demokrasi percontohan kepada dunia untuk diteladani. Menjelang pemilu 2009, konstlasi politik daerah maupun nasional akan memanas. Itu wajar. Oleh karena itu sudah saatnyalah bangsa ini merubah paradigma kedewasaan berpolitiknya dengan menjungjung tinggi etika dan norma berdemokrasi sehingga proses demokrasi tanah air dapat menjadi demokrasi percontohan di belahan dunia ini. Bangsa sekaliber Amerika Serikat Saja bisa, Mengapa kita tidak bisa ?.Semoga bisa.
Penulis Adalah Komisaris GmnI Komisariat FMIPA USU Periode 2008-2009

Tidak ada komentar: