Jumat, 29 Mei 2009

Harapan Hidup Sejahtera Ditengah-tengah Transisi Pembangunan Pematang Raya Sebagai Ibu Kota Simalungun


Harapan Hidup Sejahtera Ditengah-tengah Transisi Pembangunan Pematang Raya Sebagai Ibu Kota Simalungun
Oleh :
Frofidierman Sonik Purba S.Si

Sejak ibukota Simalungun resmi dipindahkan ke Kecamatan Raya pada tanggal 23 Juni 2008 yang lalu dimana sebelummnya Ibu kota Simalungun telah berada dalam territorial kota madya Pematang Siantar, maka mobilitas social, politik dan ekonomi masyarakat semakin mengalami perkembangan yang signifikan. Ini disebabkan karena Pematang Raya akan menuju daerah perkotaan. Disamping semakin “giatnya” pemerintah melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur pemerintahan, pusat perdagangan dan beberapa fasilitas publik walaupun memang belum memuaskan khususnya menyangkut masalah infrastruktur jalan yang jauh panggang dari apinya, kita juga bisa melihat aktivitas masyarakat semakin sibuk. Menurut penulis ada dua jenis masyarakat yang akan “bertarung” dalam menyambut perpindahan ibukota ini yakni masyarakat internal dan masyarakat eksternal. Masyarakat internal adalah masyarakat yang berdomisili disekitar ibukota. Sedangkan masyarakat eksternal adalah masyarakat yang berasal dari luar wilayah teritorial ibukota. Dua jenis masyarakat ini akan “menghiasi” transisi sosial, politik dan ekonomi Kabupaten Simalungun. Akibat percampuran masyarakat internal dan masyarakat eksternal ini akan menciptakan sebuah akulturasi social, politik dan ekonomi yang linier dengan akulturasi budaya jika masyarakat eksternal membawa budaya yang berbeda dengan budaya Simalungun pada umumnya dan budaya masyarakat Raya pada khususnya. Permasalahannya ada dua akulturasi positif - jika budaya Simalungun dapat dipertahankan dari budaya luar - atau akulturasi negative – jika budaya Simalungun terkontaminasi dengan budaya Luar Kita bisa melihat Pematang Siantar yang sebelum dimekarkan menjadi kota madya adalah masih didominasi oleh budaya dan masyarakat asli Simalungun tetapi akibat akulturasi negative Pematang Siantar kini didominasi budaya dan masyarakat yang bukan asli Simalungun seperti masyarakat Batak Toba dan Masyarakat China. Kita berharap kasus akulturasi negatif seperti di Pematang Siantar tidak terjadi lagi di Pematang Raya. Jangan sampai Pematang Raya menjadi “ Siantar-2 “ yang digilas sebuah evolusi system.
Memang, kita tidak memungkiri bahwa pembangunan Pematang raya sebagai ibukota Simalungun mengalami kemunduran akibat proses tarik ulur yang cukup a lot antara elit politik Simalungun. Regulasi pemindahan telah dikeluarkn ketika era Presiden Habibie yakni PP No.70 Tahun 1999 tetapi hingga sekarang proses pembangunannya masih jalan ditempat. Ini disebabkan karena belum adanya political will eksekutif maupun legislative dalam membangun Pematang raya sebagai ibukota. Sejak era Bupati Jhon Hugo silalahi yang mengkonsepkan pembangunan ibukota dalam proyek mega multi year dengan menelan biaya pemindahan dan pembangunan awal hampir sebesar 100 M tertapi hingga sekarang hasilnya belum mencapai taraf yang memuaskan. Belum lagi, sejak duet Zulkarnean Damanik dan Pardamean Siregar penerusnya duduk di singgasana kursi orang No.1 dan No.2 di Simalungun lagi-lagi pembangunan Pematang raya belum menunjukkan titik terang sebagai sebuah ibukota. Ironis memang kalau kita bandingkan dengan pembangunan kabupaten tetangga seperti Serdang Bedagai. Sejak Serdang Bedagai dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang, eksekutif dan legislatifnya begitu rajinnya membenahi daerahnya dengan pembangunan-pembangunan. Mereka telah membuktikan bahwa ditengah usia daerah yang masih muda, mereka telah mendapatkan
berbagai prestasi di bidang pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Kita bias melihat hanya dalam kurun waktu lima tahun, Kabupaten Serdang Bedagai telah mampu menata pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan fasilitas-fasilitas public sedangkan sudah hampir 10 tahun sejak PP 70/1999 sebagai landasan hukum pemindahan dikeluarkan pemerintah pusat, tetapi realisasi pembangunan masih gitu-gitu aja.
Master plan dan Transparansi Publik
Sudah seharusnya pemerintah sebagai eksekutor pembangunan harus memiliki master plan yang jelas dalam membangun Simalungun dengan Pematang Raya sebagai pusat pemerintahannya. Membangun Simalungun memerlukan manajerial pembangunan yang benar-benar baik, sistematis dan tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat serta lingkungan hidup. Jangan sampai karena “kerajinan” pemerintah yang over dalam membangun tidak memperhatikan hajat hidup masyarakatnya khususnya lingkungan hidup. Tetaplah menjungjung tinggi rasa kekeluargaan dan keadilan dalam membangun Simalungun ini ketika pemerintah ingin menggunakan lahan masyarakat. Jangan mengandalkan aparatnya untuk menggusur hak rakyat. Begitu juga dengan masyarakat yang “kena” imbas pembanngunan harus legowo ketika pemerintah ingin menggantirugikan lahan demi pembangunan fasilitas public. Masyarakat jangan hanya “memaksa” pemerintah untuk merealisasikan pembangunan, tetapi tidak ikhlas memberikan lahannya untuk pembangunan. Disinilah kerjasama pihak pemerintah dan masyarakat disinkronisasikan agar tidak terjadi “konflik pembangunan” di kabupaten yang kita cintai ini karena memang pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh Negara dan digunakan seperlunya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Transparansi pemerintah terhadap publik menjadi parameter utama alam memajukan pembangunan di Simalungun ini. Jangan mengambil kesempatan untuk korupsi ketika pembangunan berjalan.
Menuju Rakyat Mandiri dan Sejahtera
Kabar gembira dengan dipindahkannya Ibu kota Simalungun ke Pematang Raya, harus disambut masyarakat Simalungun dengan mengembangkan semangat kemadirian yakni dengan kegiatan berwirausaha. Masyarakat khususnya yang bermukim di wilayah Kecamatan Raya (masyarakat internal) harus jeli melihat peluang ekonomi dalam melakukan investasi agar lahan yang menjanjikan ini tidak “dijambret” oleh masyarakat eksternal tetapi harus mampu survive dan bersaing secara sehat. Jangan menunggu “bola” dari Pemerintah tetapi harus “turun gunung” dalam menyambut pembangunan ini sehingga harapan menuju masyarakat sejahtera dapat kita rasakan tentunya dengan kerja keras dan kebersamaan.

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Masyarakat Simalungun yang bermukim di Medan. Dipresentasikan Pada Diskusi Ilmiah Dengan Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara (IMAS-USU) Pada tanggal 29 Mei 2009 di Sekretariat IMAS-USU Jln.Seruling No 30 B Pasar 1 P. Bulan Medan 20156

Tidak ada komentar: