Senin, 18 Mei 2009

Bahasa Simalungun Menuju Kepunahan Budaya, Akankah ?


Bahasa Simalungun Menuju Kepunahan Budaya, Akankah ?
Oleh :
Frofidierman Sonik Purba

Tulisan ini dibuat karena terinpirasi percakapan saya dengan teman lama yang bertemu di salah satu Plaza di kota Medan.. Kami adalah pemuda simalungun bermarga yang sama dan berteman sewaktu duduk di bangku SMU. Sewaktu tamat dari bangku SMU, kami berpisah. Saya melanjutkan pendidikan di salah satu PTN di kota Medan dan sejak perpisahan itu, saya tidak tahu lagi kemana rimbanya. Sekedar mengingat masa lalu, persahabatan kami sangat akrab sekali, senang bersama-sama dan susah pun sama-sama menanggung. Keseharian kami selalu menggunakan bahasa Simalungun yang fasih dan sangat senang dengan lagu-lagu Simalungun. Priskha dan Cewek Matre - dinyanyikan artis simalungun Jhon Eliaman Saragih - adalah judul lagu Simalungun yang kami senangi. Kalau lagi bersama, dua lagu tersebut tidak lupa kami nyanyikan tentunya dengan iringan gitar.
Ditengah-tengah kekagetan saya yang bercampur dengan kegembiraan, dua sahabat karib bertemu kembali. Dengan penampilan yang begitu maskulin dan ditemani oleh seorang gadis cantik, saya menyapanya dengan bahasa Simalungun. Tapi anehnya ketika saya berbicara dengan menggunakan bahasa Simalungun, dia malah menyahutnya dengan bahasa Indonesia yang EYD nya keJakartaan banget dan terkesan janggal dan dibuat-buat. Persisnya sepenggal percakapan kami itu adalah
Saya : Oii…iii Ambea !!. Maraha ho ijon ?. Naha Kabarmu ?
Teman saya : Eh..Kamu Bro. Lama kagak Jumpa ama loe. Gue sehat-sehat aja. Gue
Lagi shoping-shoping ama si doi ( sambil memperkenalkan saya Dengan gadis cantik yang bersamanya )
Saya : Ija ho sonari ?. Kuliah do ho i jon ?.
Teman saya : Ya enggaklah. Gue kuliahnya di Jakarta. Gue lagi liburan di Medan
Ama nyokap dan bokap gitcuu sambil melepas rindu ama cintaku ini
( Sambil menggandeng tangan gadis cantik itu )
Dan masih banyak lagi percakapan-percakapan kami yang tidak dapat saya tuliskan di kertas ini, karena saya lagi menulis artikel bukannya novel.
Dari percakapan kami diatas, saya begitu heran dan risih mendengarkan bahasanya. Mengapa teman saya itu tidak membalas percakapan saya dengan bahasa Simalungun ?. Apakah kebudayaan dan kemajuan zaman di Jakarta telah membuat dia lupa dengan bahasa Simalungun. Bahasa yang selalu kami gunakan dalam kehidupan keseharian sewaktu duduk di bangku SMU.
Kalaulah kita melihat kondisi kekinian, bahasa Simalungun sudah mulai dimarjinalkan oleh masyarakat Simalungun itu sendiri. Di tingkatan pemuda-pemudi Simalungun yang hijrah dari kampung halaman untuk mencari masa depan ke “kampung orang” baik berlabelkan mahasiswa maupun sebagai anak perantauan tidak lagi membudayakan bahasa Simalungun. Ada asumsi mengatakan kalau pemuda-pemudi Simalungun malu dan risih menggunakan bahasa Simalungun di kalangan khalayak ramai. Parahnya, bahasa Simalungun juga jarang bahkan tidak digunakan lagi sebagai bahasa keseharian di kalangan pemuda-pemudi Simalungun itu sendiri. Di tingkatan masyarakat Simalungun yakni orang tua, kurang mewariskan semangat berbahasa Simalungun kepada generasi penerusnya. Permasalahan ini bisa kita lihat pada masyarakat Simalungun yang tinggal di perkotaan.
Survei membuktikan sebagian besar orang tua Simalungun yang tinggal diperkotaan seperti Pematang Siantar tidak menggunakan bahasa Simalungun dalam keluarga sebagai alat komunikasi dengan anak-anaknya. Bisa dibayangkan, masyarakat Simalungun yang tinggal di kota Pematang Siantar yang notabene secara geografis dan kultur dekat dengan kabupaten Simalungun aja tidak membudayakan bahasa Simalungun dalam kehidupan keluarganya apalagi masyarakat Simalungun yang tinggal jauh dari kabupaten Simalungun seperti Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya. Harapan kita “penyakit bahasa” ini tidak menular ke dalam kabupaten Simalungun itu sendiri yang akhir-akhir ini mulai menunjukan indikasi terjangkit di beberapa kecamatan di kabupaten Simalungun
Seharusnya kita berkaca dari suku tetangga seperti Suku Karo dan Suku Batak Toba yang terus melestarikan budaya mereka dengan menggunakan bahasa daerahnya. Mereka tidak segan maupun malu menggunakan bahasa daerahnya. Kita lihat ketika dua orang aja masyarakat suku Karo maupun suku Batak berjumpa baik itu di jalan, terminal, kampus, warung maupun di tempat-tempat umum lainnya, mereka selalu memakai bahasa daerahnya untuk berkomunikasi.
Permasalahan budaya ini harus segera di tuntaskan. Kita tentunya tidak menginginkan bahasa Simalungun mengalami tragedi budaya menuju kepunahan bahasa yang ujung-ujungnya dapat menjadi stimulus menuju kepunahan budaya
Penulis tentunya tidak bermaksud mengangkat isu primordial yang sempit dengan menggaransikan bahasa Simalungun menjadi harga mati yang harus digunakan sebagai alat komunikasi satu satunya dalam kehidupan bermasyarakat tetapi lebih kepada persoalan bagaimana insan Simalungun harus melestarikan bahasa daerahnya sebagai bahasa keseharian di kalangan sesama masyarakat Simalungun disamping menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan suku-suku lain.
Beban moral ini adalah tugas kita bersama. Pemerintah dan DPRD harus proaktif melihat permasalahan ini. Sudah seharusnya Perda bahasa dibuat yang mengatur penggunaan bahasa Simalungun dalam lingkup lembaga pemerintahan. Alangkah disayangkan apabila Bupati,Wakil Bupati, Anggota DPRD maupun Pegawai pemerintahan Simalungun tidak mampu berbahasa Simalungun. Disamping itu organisasi-organisasi Simalungun harus membudayakan bahasa ini dalam kehidupan bermasyarakat. Kita tentunya tidak sepakat apabila ada organisasi Simalungun yang katanya berjuang untuk kepentingan rakyat Simalungun tapi tidak dapat berbahasa Simalungun dapat dikatakan organisasi teladan. dalam kehidupan bermasyarakat.
Generasi tua juga harus mewariskan semangat menggunakan bahasa Simalungun kepada generasi muda sejak dini agar generasi muda Simalungun tidak malu mengunakan bahasa Simalungun dimana pun dia berada sehingga kasus seperti teman lama saya tidak terjadi lagi di kalangan pemuda-pemudi Simalungun kita karena bahasa Simalungun adalah subsistem kekayaan budaya nasional.
Ai ma Tongon
Horas……….
Horas……….
Horas……….

Penulis adalah Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Komisariat FMIPA USU periode 2008-2009 dan Aktivis IMAS-USU

Tidak ada komentar: